Jumat, 25 Juni 2010

Ittiba’ Dalam Beramal

Suatu amalan akan diterima ALLAH jika ikhlas dan sesuai Sunnah. Berikut rincian suatu ibadah dikatakan sesuai sunnah.

Ketahuilah bahwa mutaba’ah tidak akan terwujud apabila amalan tersebut tidak sesuai dengan syari’at dalam enam hal:

1. Sebabnya
2. Jenisnya
3. Ukurannya
4. Teknisnya
5. Waktunya
6. Tempatnya

Apabila tidak sesuai dengan syari’at dalam enam hal ini, maka amalan tersebut dikatakan bathil dan tertolak, sebab ia melakukan suatu hal dalam agama Allah yang tidak ada sandaran darinya.

1. Sebabnya

Amalan harus sesuai dengan syari’at dalam sebabnya. Hal itu seperti seseorang melakukan ibadah dengan yang tidak pernah Allah sebutkan, misalkan; dia shalat dua raka’at setiap kali memasuki rumahnya dan menjadikan hal ini sebagai perbuatan Sunnah. Seperti ini tertolak. Walaupun perkara shalat pada dasarnya disyari’atkan, tetapi ketika ia kaitkan dengan sebab yang tidak bersumber dari syar’at, maka hal ini mengakibatkan ibadah tersebut tertolak. Contoh yang lain: apabila seseorang membuat perayaan dengan sebab kemenangan kaum Muslimin pada Badar, maka hal ini pun tertolak, sebab ia mengaitkannya sebab yang tidak pernah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

2. Jenisnya

Bila seseorang beribadah kepada Allah dengan suatu ibadah tidak pernah disyari’atkan agama dalam hal jenisnya, maka tidak akan diterima. Sebagai contoh: bila seseorang berkurban dengan kuda, maka hal ini tertolak, sebab menyelisihi perintah syariat dalam hal jenis, dimana syar’at Islam memerintahkan harus dari jenis binatang ternak tertentu, yaitu: unta, sapi dan kambing. Adapun seseorang yang memotong kuda dengan niat mensadaqahkan dagingnya maka hal itu diperbolehkan, sebab ia tidak dikatakan berkurban kepada Allah dengan menyembelihnya, hanya menyembelihnya untuk dishadaqahkan dagingnya.

3. Ukurannya

Apabila seseorang beribadah kepada Allah dengan ukuran yang lebih dari ukuran yang telah ditentukan syari’at maka hal itu tidak diterima. Sebagai contoh: bila seseorang berwudhu’ dengan membasuh setiap bagian sebanyak empat kali, maka yang keempat tertolak, sebab hal itu melebihi ketentuan syari’at. Bahkan disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah shalallahu‘alaihi wa sallam berwudhu’ tiga kali-tiga kali, lalu beliau bersabda, yang artinya:

مَنْ زَادَ عَلَى ذَلِكَ فَقَدْ أَسَاءَ وَتَعَدَّى وَظَلَمَ

“Barangsiapa yang melebihkannya, maka ia telah berbuat jelek, melampaui batas dan berbuat kezhaliman (HR. Ahmad, An-Nasaai, Ibnu Majah dengan sanad yang hasan)

4. Sesuai teknisnya

Apabila seseorang mengamalkan sesuatu dalam rangka beribadah kepada-Nya tetapi menyelisihi syari’at dalam hal teknisnya, maka tidak akan diterima, dan hal itu tertolak. Contoh: seseorang shalat, ia langsung bersujud sebelum melakukan ruku’, maka shalatnya tidak sah dan tertolak, sebab tidak sesuai dengan teknis tuntunan syari’at.

Demikian pula dalam hal wudhu’ dengan cara berbalik seperti memulai dengan membasuh kaki sebelum mengusap kepala setelah itu membasuh tangan lalu muka, apabila berwudhu’ dengan teknis seperti ini maka tidak sah, sebab tidak mengikuti perintah syari’at dalam hal teknis atau tata-caranya.

5. Sesuai dengan syari’at dalam hal waktunya

Bila seseorang shalat sebelum masuk waktunya, maka shalatnya tidak mungkin diterima sebab ia menyelisihi waktu yang telah ditentukan syari’at. Juga bila menyembelih kurban sebelum mengadakan shalat `Id, inipun tertolak, sebab menyelisihi waktu yang telah ditentukan syari’at.

Apabila seseorang beri’tikaf pada selain waktunya, maka hal itu tidak sesuai dengan pedomannya, namun hal ini diperbolehkan sebab Rasulullah ‘, membolehkan `Umar bin al-Khaththab beri’tikaf di Masjidil Haram ketika beliau bernadzar.

Apabila seseorang mengakhirkan suatu ibadah yang telah ditentukan waktunya oleh syari’at tanpa adanya alasan yang dibenarkan, seperti shalat Shubuh setelah terbit matahari tanpa udzur, maka (dengan sikap seperti ini) shalatnya tertolak, sebab ia telah beramal dengan amalan yang tidak bersumber dari Allah dan Rasul-Nya.

6. Sesuai dalam ketentuan

Apabila seseorang beri’tikaf di sekolah atau di rumah, bukan di mesjid, maka amalannya ini tidak sah, sebab tidak sesuai dengan tuntunan syari’at dalam ketentuan tempatnya, di mana ibadah I’tikaf harus dilakukan di masjid.

Maka perhatikanlah keenam hal di atas dan wujudkanlah dalam setiap yang diwajibkan kepadamu. Berikut ini beberapa permisalan di antara perkara yang tertolak sebab menyelisihi ketentuan Allah dan Rasul-Nya:

Contoh 1

Orang yang berjual beli setelah adzan kedua pada hari Jum’at dan ia termasuk golongan yang diwajibkan menghadiri shalat jum’at, maka akad transaksinya tidak sah, sebab ia menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya. Dan apabila hal ini terjadi maka wajib dibatalkan, masing-masing mengembalikan uang dan barangnya.

Hal ini berdasarkan sebuah riwayat bahwa ketika Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam dikabarkan bahwa kurma yang baik sebanyak satu sha’ ditukar dengan dua sha’ (yang jelek), dua sha’ dengan tiga sha’. Seketika Rasulullah bersabda, yang artinya: Kembalikan! Artinya kembalikan barang dagangannya, sebab telah menyelisihi ketentuan Allah dan Rasul-Nya.

Contoh 2

Seseorang wanita menikahkan dirinya tanpa adanya wali, maka pernikahannya pun tidak sah, sebab Rasulullah shollallohu ’alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali

Contoh 3

Seseorang yang mentalak isterinya dalam keadaan haid, apakah talaknya dianggap atau tidak?

Jawab: Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Tatkala seseorang mengatakan kepada Imam Ahmad rahimahullah, pendapat bahwa talak ketika sang isteri sedang haid dibolehkan (terjadi), seketika beliau berkata Itu pendapat jelek. Inilah perkataan Imam Ahmad rahimahullah yang ilmunya sangat piawai dalam hadits dan fiqih, beliau mengingkari perkataan tersebut.

Demikian pula sebagian ulama ada yang mengingkari pendapat bahwa talak di saat haidh tidak terjadi, mereka berpendapat sebaliknya, yakni bahwa hal itu terjadi dan dianggap talak satu. Namun ada juga yang berpendapat bahwa hal itu tidak terjadi, seperti pendapatnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, walhasil ini termasuk masalah khilafiyyah (diperselisihkan).

Saya (syaikh ibnu utsaimin rohimahulloh) menyebutkannya di sini dengan maksud jangan sampai orang-orang gampang menfatwakan tidak menganggap terjadinya talak diwaktu haid, bahkan kalian harus memberlakukan hukum tersebut kepada mereka sebagaimana mereka sengaja melakukannya.
Meskipun talak dengan lafazh tiga kali dengan satu ucapan, pada masa Rasulullah shollallohu ’alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan dua tahun masa pemerintahan `Umar dihitung satu kali. Namun ketika manusia berani (menyepelekan) perkara yang haram, maka `Umar radhiallahu’anhu menghukumi mereka dengan menjatuhkannya (menganggapnya tiga kali), seraya beliau berkata: “Engkau tidak boleh kembali kepada isterimu, sebab kamu sendiri yang menyengaja menceraikannya tiga kali.”

Saya (syaikh ibnu utsaimin rohimahulloh) pun setuju dengan pendapat ini (dianggap terjadi), sebab kebanyakan manusia sekarang suka mempermainkannya, di saat orang awam datang dan mengatakan bahwa dirinya telah menceraikan isterinya dalam keadaan haidh sejak sepuluh tahun yang lalu, dan Anda katakan padanya; Hal itu dianggap terjadi, lantas ia berkata padamu: Itu hanya talak di waktu haid dan dianggap talak bid’ah. Orang ini mengatakan demikian padahal dirinya awam. la tidak tahu mana pergelangan tangan di antara kumpulan manusia (ungkapan yang menunjukkan kebodohannya), dan ia mengatakan demikian sebab hawa nafsunya.

Apakah mungkin kita fatwakan bahwa talak Anda tidak terjadi?!

Jawab: Tidak mungkin kita lakukan demikian, sebab di pundak kita pertanggungjawaban yang sangat agung di hari Kiamat kelak. Bahkan kita katakan padanya: Anda telah mewajibkan diri Anda, maka hal itu harus Anda ikuti.

Bagaimana menurutmu apabila isterimu telah habis masa `iddahnya dari penceraian itu dan ia menikah dengan laki-laki lain, apakah kamu akan mendatangi suami barunya dan berkata: `Perempuan ini isteri saya?!!’

Tentu Anda tidak akan berkata seperti ini. Maka apabila dia berpendapat bahwa talak tiga itu berlaku (seperti pendapat kami), maka tentunya ia tidak akan membuka pintu (thalak) ini (untuk dipermainkan).

Walhasil, talak dalam keadaan haidh mayoritas ulama menyatakannya berlaku. Dan pendapat yang mengatakan sebaliknya, Imam Ahmad mengomentarinya dengan perkataan beliau: Ini pendapat yang buruk, artinya tidak pantas untuk dijadikan pedoman.

Contoh 4

Seseorang menjual satu uqiyah (ukuran) emas dengan satu setengah uqiyah, maka yang seperti ini dikatakan jual beli yang bathil (tidak sah), sebab Rasulullah shollallohu ’alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Jangan kalian menjual emas dengan emas kecuali dengan ukuran dan berat yang sama “(HR. Bukhari, Muslim)

Contoh 5

Seseorang shalat dengan mengenakan baju curian. Mayoritas ulama mengatakan: shalatnya sah, sebab larangan di sini tidak berkaitan dengan shalat tetapi larangannya hanya tentang mencuri baju. Apakah baju itu dipakai untuk shalat atau tidak, maka tidak berkaitan dengan shalat. Nabi shollallohu ’alaihi wa sallam sendiri tidak mengatakan: Janganlah kalian shalat dengan mengenakan baju curian. Beliau hanya melarang mencuri dan mengharamkannya dan tidak mengaitkannya dengan masalah shalat.

Contoh 6

Seseorang shalat sunnah tanpa adanya alasan pada saat waktu larangan shalat, maka amalannya ini tertolak sebab hal itu terlarang baginya.

Contoh 7

Seseorang puasa pada hari raya `Idul Fithri, maka puasanya tertolak sebab ia melakukannya pada waktu larangan baginya.

Contoh 8

Seseorang berwudhu’ dengan air curian, maka hal itu tetap sah, sebab larangan di sini berkenaan dengan mencuri air, tidak berkenaan langsung dengan wudhu’ dengan air tersebut. Apabila larangan dimaksud berkenaan dengan wujud ibadah itu sendiri, maka ibadah ini tidak sah. Tetapi bila larangan ini bersifat umum, maka hal itu tidak berkait dengan sah atau tidaknya suatu ibadah.

Contoh 9

Seseorang mencurangi temannya dengan cara menipunya dalam hal jual beli, maka hasil jual belinya tetap dikatakan sah, sebab larangan di sini hanya berkisar tentang tipu-menipu. Apabila orang yang tertipu ini menerima hasil jual belinya, maka hal itu tetap dikatakan sah. Rasulullah shollallohu ’alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:

“Janganlah kalian menghadang al-jalab (sebelum sampai ke pasar). Apabila kalian menemui (jalab) dan membeli sesuatu darinya, kemudian majikannya (orang kampung yang membawa jalab itu) mendatangi pasar, maka harus dilakukan pilihan (tawar menawar) kembali.” (HR. Muslim)

Al-jalab adalah barang-barang yang dibawa oleh orang Arab perkampungan berupa hewan ternak, bahan makanan dan selainnya, [di mana mereka tidak mengetahui harga pasaran dari barang-barang dagangannya]. Dalam hal ini Rasulullah tidak mengatakan: Maka jual belinya bathil (tidak sah), bahkan telah sah, namun orang yang dihadangnya (orang kampung itu) berhak untuk mengadakan tawar-menawar harga lagi, karena ia menjadi pihak yang telah dirugikan.

Harus dibedakan antara larangan yang berkaitan dengan wujud suatu amalan dengan sesuatu yang tidak berkaitan dengannya. Apabila berkaitan dengan wujudnya, maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu tertolak (tidak benar), sebab jika Anda memaksanya menganggap benar, berarti Anda menentang Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika berkait dengan sesuatu di luar amalan, maka amalan tersebut tetap dikatakan shahih, dan dosa dalam amalan yang Anda amalkan (berupa menipu atau mencuri) adalah diharamkan (dengan dalil tersendiri).

Contoh 10.

Seseorang berhaji dengan harta curian, misalkan dengan mencuri unta kemudian berhaji dengan hasil penjualannya. Hajinya tetap shahih, dan inilah pendapat mayoritas ulama, akan tetapi dirinya berdosa dengan mencuri unta tersebut, atau dengan mencuri mobil misalkan. Sebab perbuatan mencuri ini ada di luar ibadah tersebut. Bukti (bahwa biaya haji itu di luar ibadah hajinya), ialah terkadang ada seseorang yang berhaji tanpa mengunakan biaya kendaraan. Sebagian ulama menghukuminya dengan tidak shahih, dan keputusan mereka ini dilantunkan dalam satu bait syair:

إذا حججتَ بمالٍ أصلُهُ سُحْتٌ
ضفما حججتَ ولكنْ حجَّتِ العيرُ

Jika kamu berhaji dengan harta yang asalnya dosa (haram)
Maka kamu tidak berhaji, akan tetapi untanyalah yang berhaji.

Dalam riwayat Muslim: “Siapa yang melakukan suatu amalan (ibadah) yang-bukan urusan (agama) kami, maka hal itu tertolak.” Dalam riwayat ini tersurat bahwa apabila dalam suatu amalan tidak berlandaskan pada perintah Allah dan Rasul-Nya, maka hal itu secara pasti akan tertolak. Dalam masalah ibadah, tanpa diragukan lagi ketentuan ini berlaku, sebab perkara ibadah berpatokan pada prinsip yang baku (bahwa pada asalnya dilarang), hingga adanya dalil yang menjadikannya disyari’atkan.

Jika ada seseorang mengadakan satu bentuk peribadatan kepada Allah Ta’ala, lalu orang lain mengingkarinya, kemudian ia balik bertanya: Apa dalilmu kalau hal itu perbuatan haram? Sanggahan seperti ini jelas mungkarnya. Maka pengingkar harus berkata: Dalilnya adalah bahwa pada dasarnya ibadah itu hukumnya terlarang, hingga adanya dalil yang mensyari’atkannya. Adapun pada selain ibadah (mu’amalah), hukum asalnya adalah boleh (selama tidak ada dalil yang melarangnya), baik yang berkaitan dengan pelakunya maupun perbuatannya, karena pada dasarnya berhukum halal/boleh.

Contoh pelaku (perbuatan selain ibadah), misalnya: seseorang memburu burung untuk memakannya, lalu orang lain mengingkarinya. Kemudian ia menyanggah: Apa dalil keharamannya? Sanggahan dia benar, sebab asal hukum berburu burung adalah halal, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعاً

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu. (QS. Al-Baqarah: 29)

Contoh perbuatan pada selain ibadah yang hukum asalnya halal: si A mengerjakan sesuatu di rumahnya atau pada mobilnya, pakaiannya atau apa saja yang berkaitan dengan perkara dunia, kemudian si B mengingkarinya. Lalu si A menyanggah dan bertanya: Apa dalilmu mengharamkan perbuatan saya? Ucapanya A dibenarkan sebab asal perbuatannya dihalalkan.

Inilah 2 kaidah yang sangat penting dan bermanfaat (yaitu bahwa ibadah itu hukum asalnya dilarang, sampai ada dalil yang melegalkannya. Sebaliknya, muamalah itu pada asalnya diperbolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya.

Atas dasar ini, dalam masalah ibadah kita harus memperhatikan tiga kesimpulan:

1. Apa yang kita ketahui bahwa syariat membolehkan suatu ibadah, maka itu berarti disyariatkan
2. Apa yang kita ketahui bahwa syariat melarangnya, maka berarti hal itu terlarang
3. Apa yang tidak kita ketahui bahwa suatu hal tidak termasuk ibadah, maka hal itu terlarang

Adapun dalam masalah muamalah, kitapun harus memperhatikan 3 tiga kesimpulan:

1. Apa yang kita ketahui bahwa syariat membolehkannya, maka hal itu berarti boleh, seperti amalan Rasulullah shollallohu ’alaihi wa sallam memakan keledai liar
2. Apa yang kita ketahui bahwa syariat melarangnya, maka hal itu berarti dilarang
3. Dan apa yang tidak kita ketahui ketentuan hukumnya, maka hal itu berarti dibolehkan, sebab hukum asal pada selain ibadah adalah boleh.

Syarh Arbain Nawawiyah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

http://www.perpustakaan-islam.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=192


1.Larangan Beramal Untuk Tujuan Dunia


tulah yang sering kita lihat pada umat Islam saat ini. Mereka memang gemar melakukan puasa sunnah (yaitu puasa Senin-Kamis dan lainnya), namun semata-mata hanya untuk menyehatkan badan sebagaimana saran dari beberapa kalangan. Ada juga yang gemar sekali bersedekah, namun dengan tujuan untuk memperlancar rizki dan karir. Begitu pula ada yang rajin bangun di tengah malam untuk bertahajud, namun tujuannya hanyalah ingin menguatkan badan. Semua yang dilakukan memang suatu amalan yang baik. Tetapi niat di dalam hati senyatanya tidak ikhlash karena Allah, namun hanya ingin mendapatkan tujuan-tujuan duniawi semata. Kalau memang demikian, mereka bisa termasuk orang-orang yang tercela sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut.

Dengan Amalan Sholeh Hanya Mengharap Keuntungan Dunia, Sungguh Akan Sangat Merugi

Allah Ta’ala berfirman,

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud 11 : 15-16)

Yang dimaksud dengan “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia” yaitu barangsiapa yang menginginkan kenikmatan dunia dengan melakukan amalan akhirat.

Yang dimaksud “perhiasan dunia” adalah harta dan anak.

Mereka yang beramal seperti ini: “niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan”. Maksudnya adalah mereka akan diberikan dunia yang mereka inginkan. Ini semua diberikan bukan karena mereka telah berbuat baik, namun semata-mata akan membuat terlena dan terjerumus dalam kebinasaan karena rusaknya amalan mereka. Dan juga mereka tidak akan pernah yubkhosuun, yaitu dunia yang diberikan kepada mereka tidak akan dikurangi. Ini berarti mereka akan diberikan dunia yang mereka cari seutuhnya (sempurna).

Dunia, mungkin saja mereka peroleh. Dengan banyak melakukan amalan sholeh, boleh jadi seseorang akan bertambah sehat, rizki semakin lancar dan karir terus meningkat. Dan itu senyatanya yang mereka peroleh dan Allah pun tidak akan mengurangi hal tersebut sesuai yang Dia tetapkan. Namun apa yang mereka peroleh di akhirat?

Lihatlah firman Allah selanjutnya (yang artinya), “Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka”. Inilah akibat orang yang hanya beribadah untuk mendapat tujuan dunia saja. Mereka memang di dunia akan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Adapun di akhirat, mereka tidak akan memperoleh pahala karena mereka dalam beramal tidak menginginkan akhirat. Ingatlah, balasan akhirat hanya akan diperoleh oleh orang yang mengharapkannya. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu’min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS. Al Israa’: 19)

Orang-orang seperti ini juga dikatakan: “lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”. Ini semua dikarenakan mereka dahulu di dunia beramal tidak ikhlas untuk mengharapkan wajah Allah sehingga ketika di akhirat, sia-sialah amalan mereka. (Lihat penjelasan ayat ini di I’aanatul Mustafid, 2/92-93)

Sungguh betapa banyak orang yang melaksanakan shalat malam, puasa sunnah dan banyak sedekah, namun itu semua dilakukan hanya bertujuan untuk menggapai kekayaan dunia, memperlancar rizki, umur panjang, dan lain sebagainya.

Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhu- menafsirkan surat Hud ayat 15-16. Beliau –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya orang yang riya’, mereka hanya ingin memperoleh balasan kebaikan yang telah mereka lakukan, namun mereka minta segera dibalas di dunia.”

Ibnu ‘Abbas juga mengatakan, “Barangsiapa yang melakukan amalan puasa, shalat atau shalat malam namun hanya ingin mengharapkan dunia, maka balasan dari Allah: “Allah akan memberikan baginya dunia yang dia cari-cari. Namun amalannya akan sia-sia (lenyap) di akhirat nanti karena mereka hanya ingin mencari dunia. Di akhirat, mereka juga akan termasuk orang-orang yang merugi”.” Perkataan yang sama dengan Ibnu ‘Abbas ini juga dikatakan oleh Mujahid, Adh Dhohak dan selainnya.

Qotadah mengatakan, “Barangsiapa yang dunia adalah tujuannya, dunia yang selalu dia cari-cari dengan amalan sholehnya, maka Allah akan memberikan kebaikan kepadanya di dunia. Namun ketika di akhirat, dia tidak akan memperoleh kebaikan apa-apa sebagai balasan untuknya. Adapun seorang mukmin yang ikhlash dalam beribadah (yang hanya ingin mengharapkan wajah Allah), dia akan mendapatkan balasan di dunia juga dia akan mendapatkan balasan di akhirat.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, tafsir surat Hud ayat 15-16)

Hanya Beramal Untuk Menggapai Dunia, Tidak Akan Dapat Satu Bagianpun Di Akhirat

Kenapa seseorang beribadah dan beramal hanya ingin menggapai dunia? Jika seseorang beramal untuk mencari dunia, maka dia memang akan diberi. Jika shalat tahajud, puasa senin-kamis yang dia lakukan hanya ingin meraih dunia, maka dunia memang akan dia peroleh dan tidak akan dikurangi. Namun apa akibatnya di akhirat? Sungguh di akhirat dia akan sangat merugi. Dia tidak akan memperoleh balasan di akhirat disebabkan amalannya yang hanya ingin mencari-cari dunia.

Namun bagaimana dengan orang yang beramal dengan ikhlash, hanya ingin mengharap wajah Allah? Di akhirat dia akan memperoleh pahala yang berlipat ganda.

Allah Ta’ala berfirman,

“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (QS. Asy Syuraa: 20)

Ibnu Katsir –rahimahullah- menafsirkan ayat di atas, “Barangsiapa yang mencari keuntungan di akhirat, maka Kami akan menambahkan keuntungan itu baginya, yaitu Kami akan kuatkan, beri nikmat padanya karena tujuan akhirat yang dia harapkan. Kami pun akan menambahkan nikmat padanya dengan Kami balas setiap kebaikan dengan sepuluh kebaikan hingga 700 kali lipat hingga kelipatan yang begitu banyak sesuai dengan kehendak Allah. … Namun jika yang ingin dicapai adalah dunia dan dia tidak punya keinginan menggapai akhirat sama sekali, maka balasan akhirat tidak akan Allah beri dan dunia pun akan diberi sesuai dengan yang Allah kehendaki. Dan jika Allah kehendaki, dunia dan akhirat sekaligus tidak akan dia peroleh. Orang seperti ini hanya merasa senang dengan keinginannya saja, namun barangkali akhirat dan dunia akan lenyap seluruhnya dari dirinya.”

Ats Tsauri berkata, dari Mughiroh, dari Abul ‘Aliyah, dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

“Umat ini diberi kabar gembira dengan kemuliaan, kedudukan, agama dan kekuatan di muka bumi. Barangsiapa dari umat ini yang melakukan amalan akhirat untuk meraih dunia, maka di akhirat dia tidak mendapatkan satu bagian pun.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya, Al Hakim dan Al Baiaqi. Al Hakim mengatakan sanadnya shahih. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib)

Terdapat pula riwayat dalam Al Baihaqi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Umat ini diberi kabar gembira dengan kemudahan, kedudukan dan kemulian dengan agama dan kekuatan di muka bumi, juga akan diberi pertolongan. Barangsiapa yang melakukan amalan akhirat untuk mencari dunia, maka dia tidak akan memperoleh satu bagian pun di akhirat. ”

Tanda Seseorang Beramal Untuk Tujuan Dunia

Al Bukhari membawakan hadits dalam Bab “Siapa yang menjaga diri dari fitnah harta”.

Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Celakalah hamba dinar, dirham, qothifah dan khomishoh. Jika diberi, dia pun ridho. Namun jika tidak diberi, dia tidak ridho, dia akan celaka dan akan kembali binasa.” (HR. Bukhari). Qothifah adalah sejenis pakaian yang memiliki beludru. Sedangkan khomishoh adalah pakaian yang berwarna hitam dan memiliki bintik-bintik merah. (I’aanatul Mustafid, 2/93)

Kenapa dinamakan hamba dinar, dirham dan pakaian yang mewah? Karena mereka yang disebutkan dalam hadits tersebut beramal untuk menggapai harta-harta tadi, bukan untuk mengharap wajah Allah. Demikianlah sehingga mereka disebut hamba dinar, dirham dan seterusnya. Adapun orang yang beramal karena ingin mengharap wajah Allah semata, mereka itulah yang disebut hamba Allah (sejati).

Di antara tanda bahwa mereka beramal untuk menggapai harta-harta tadi atau ingin menggapai dunia disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya: “Jika diberi, dia pun ridho. Namun jika tidak diberi, dia pun tidak ridho (murka), dia akan celaka dan kembali binasa”. Hal ini juga yang dikatakan kepada orang-orang munafik sebagaimana dalam firman Allah,

“Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (QS. At Taubah: 58)

Itulah tanda seseorang dalam beramal hanya ingin menggapai tujuan dunia. Jika dia diberi kenikmatan dunia, dia ridho. Namun, jika kenikmatan dunia tersebut tidak kunjung datang, dia akan murka dan marah. Dalam hatinya seraya berujar, “Sudah sebulan saya merutinkan shalat malam, namun rizki dan usaha belum juga lancar.” Inilah tanda orang yang selalu berharap dunia dengan amalan sholehnya.

Adapun seorang mukmin, jika diberi nikmat, dia akan bersyukur. Sebaliknya, jika tidak diberi, dia pun akan selalu sabar. Karena orang mukmin, dia akan beramal bukan untuk mencapai tujuan dunia. Sebagian mereka bahkan tidak menginginkan mendapatkan dunia sama sekali. Diceritakan bahwa sebagian sahabat tidak ridho jika mendapatkan dunia sedikit pun. Mereka pun tidak mencari-cari dunia karena yang selalu mereka harapkan adalah negeri akhirat. Semua ini mereka lakukan untuk senantiasa komitmen dalam amalan mereka, agar selalu timbul rasa harap pada kehidupan akhirat. Mereka sama sekali tidak menyukai untuk disegerakan balasan terhadap kebaikan yang mereka lakukan di dunia.

Akan tetapi, barangsiapa diberi dunia tanpa ada rasa keinginan sebelumnya dan tanpa ada rasa tamak terhadap dunia, maka dia boleh mengambilnya. Sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits dari ‘Umar bin Khottob,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan suatu pemberian padaku.” Umar lantas mengatakan, “Berikan saja pemberian tersebut pada orang yang lebih butuh (lebih miskin) dariku. Sampai beberapa kali, beliau tetap memberikan harta tersebut padaku.” Umar pun tetap mengatakan, “Berikan saja pada orang yang lebih butuh (lebih miskin) dariku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Ambillah harta tersebut dan harta yang semisal dengan ini di mana engkau tidak merasa mulia dengannya dan sebelumnya engkau pun tidak meminta-mintanya. Ambillah harta tersebut. Selain harta semacam itu (yang di mana engkau punya keinginan sebelumnya padanya), maka biarkanlah dan janganlah hatimu bergantung padanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sekali lagi, begitulah orang beriman. Jika dia diberi nikmat atau pun tidak, amalan sholehnya tidak akan pernah berkurang. Karena orang mukmin sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya. Adapun orang yang selalu mengharap dunia dengan amalan sholehnya, dia akan bersikap berbeda. Jika dia diberi nikmat, baru dia ridho. Namun, jika dia tidak diberi, dia akan murka dan marah. Dia ridho karena mendapat kenikmatan dunia. Sebaliknya, dia murka karena kenikmatan dunia yang tidak kunjung menghampirinya padahal dia sudah gemar melakukan amalan sholeh. Itulah sebabnya orang-orang seperti ini disebut hamba dunia, hamba dinar, hamba dirham dan hamba pakaian.

Beragamnya Niat dan Amalan Untuk Menggapai Dunia

Niat seseorang ketika beramal ada beberapa macam:

Pertama, Jika niatnya adalah murni untuk mendapatkan dunia ketika dia beramal dan sama sekali tidak punya keinginan mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat

Maka orang semacam ini di akhirat tidak akan mendapatkan satu bagian nikmat pun. Perlu diketahui pula bahwa amalan semacam ini tidaklah muncul dari seorang mukmin. Orang mukmin walaupun lemah imannya, dia pasti selalu mengharapkan wajah Allah dan negeri akhirat.

Kedua, Jika niat seseorang adalah untuk mengharap wajah Allah dan untuk mendapatkan dunia sekaligus, entah niatnya untuk kedua-duanya sama atau mendekati

Maka semacam ini akan mengurangi tauhid dan keikhlasannya. Amalannya dinilai memiliki kekurangan karena keikhlasannya tidak sempurna.

Ketiga, Adapun jika seseorang telah beramal dengan ikhlash, hanya ingin mengharap wajah Allah semata, akan tetapi di balik itu dia mendapatkan upah atau hasil yang dia ambil untuk membantunya dalam beramal

Semacam mujahid yang berjihad lalu mendapatkan harta rampasan perang, para pengajar dan pekerja yang menyokong agama yang mendapatkan upah dari negara setiap bulannya, maka tidak mengapa mengambil upah tersebut. Hal ini juga tidak mengurangi keimanan dan ketauhidannya, karena semula dia tidak beramal untuk mendapatkan dunia. Sejak awal dia sudah berniat untuk beramal sholeh dan menyokong agama ini, sedangkan upah yang dia dapatkan adalah di balik itu semua yang nantinya akan menolong dia dalam beramal dan beragama. (Lihat Al Qoulus Sadiid, 132-133)

Adapun amalan yang seseorang lakukan untuk mendapatkan balasan dunia ada dua macam:

Pertama, Amalan yang tidak disebutkan di dalamnya balasan dunia. Namun seseorang melakukan amalan tersebut untuk mengharapkan balasan dunia.

Maka semacam ini tidak diperbolehkan bahkan termasuk kesyirikan. Misalnya: Seseorang melaksanakan shalat Tahajud. Dia berniat dalam hatinya bahwa pasti dengan melakukan shalat malam ini, anaknya yang akan lahir nanti adalah laki-laki. Ini tidak dibolehkan karena tidak ada satu dalil pun yang menyebutkan bahwa dengan melakukan shalat Tahajud akan mendapatkan anak laki-laki.

Kedua, Amalan yang disebutkan di dalamnya balasan dunia. Contohnya adalah silaturrahim dan berbakti kepada kedua orang tua.

Semisal silaturrahim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa senang untuk dilapangkan rizki dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah tali silaturrahim (hubungan antar kerabat).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jika seseorang melakukan amalan semacam ini, namun hanya ingin mengharapkan balasan dunia saja dan tidak mengharapkan balasan akhirat, maka orang yang melakukannya telah terjatuh dalam kesyirikan. Namun, jika dia melakukannya tetap mengharapkan balasan akhirat dan dunia sekaligus, juga dia melakukannya dengan ikhlash, maka ini tidak mengapa dan balasan dunia adalah sebagai tambahan nikmat untuknya karena syari’at telah menunjukkan adanya balasan dunia dalam amalan ini.

Perbedaan dan Kesamaan Beramal untuk Meraih Dunia dengan Riya’

Syaikh Muhammad At Tamimi – rahimahullah – membawakan pembahasan ini dalam Kitab Tauhid pada Bab “Termasuk kesyirikan, seseorang beribadah untuk mencari dunia”. Beliau –rahimahullah- membawakannya setelah membahas riya’. Kenapa demikian?

Riya’ dan beribadah untuk mencari dunia, keduanya sama-sama adalah amalan hati dan terlihat begitu samar karena tidak nampak di hadapan orang banyak. Namun, Keduanya termasuk amalan kepada selain Allah Ta’ala. Ini berarti keduanya termasuk kesyirikan yaitu syirik khofi (syirik yang samar). Keduanya memiliki peredaan. Riya’ adalah beramal agar dilihat oleh orang lain dan ingin tenar dengan amalannya. Sedangkan beramal untuk tujuan dunia adalah banyak melakukan amalan seperti shalat, puasa, sedekah dan amalan sholeh lainnya dengan tujuan untuk mendapatkan balasan segera di dunia semacam mendapat rizki yang lancar dan lainnya.

Tetapi perlu diketahui, para ulama mengatakan bahwa amalan seseorang untuk mencari dunia lebih nampak hasilnya daripada riya’. Alasannya, kalau seseorang melakukan amalan dengan riya’, maka jelas dia tidak mendapatkan apa-apa. Namun, untuk amalan yang kedua, dia akan peroleh kemanfaatan di dunia. Akan tetapi, keduanya tetap saja termasuk amalan yang membuat seseorang merugi di hadapan Allah Ta’ala. Keduanya sama-sama bernilai syirik dalam niat maupun tujuan. Jadi kedua amalan ini memiliki kesamaan dari satu sisi dan memiliki perbedaan dari sisi yang lain.

Kenapa Engkau Tidak Ikhlash Saja dalam Beramal?

Sebenarnya jika seseorang memurnikan amalannya hanya untuk mengharap wajah Allah dan ikhlash kepada-Nya niscaya dunia pun akan menghampirinya tanpa mesti dia cari-cari. Namun, jika seseorang mencari-cari dunia dan dunia yang selalu menjadi tujuannya dalam beramal, memang benar dia akan mendapatkan dunia tetapi sekadar yang Allah takdirkan saja. Ingatlah ini … !!

Semoga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa menjadi renungan bagi kita semua,

“Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh dan tunduk hina padanya. Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah ditetapkan baginya.” (HR. Tirmidzi no. 2465. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat penjelasan hadits ini di Tuhfatul Ahwadzi, 7/139)

Marilah – saudaraku -, kita ikhlashkan selalu niat kita ketika kita beramal. Murnikanlah semua amalan hanya untuk menggapai ridho Allah. Janganlah niatkan setiap amalanmu hanya untuk meraih kenikmatan dunia semata. Ikhlaskanlah amalan tersebut pada Allah, niscaya dunia juga akan engkau raih. Yakinlah hal ini …!!

Semoga Allah selalu memperbaiki aqidah dan setiap amalan kaum muslimin. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah kepada mereka ke jalan yang lurus.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala wa alihi wa shohbihi wa sallam.

Rujukan:
1. Al Qoulus Sadiid Syarh Kitab At Tauhid, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Wizarotusy syu’un Al Islamiyyah wal Awqof wad Da’wah wal Irsyad-Al Mamlakah Al ‘Arobiyah As Su’udiyah.
2. I’aanatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan.
3. At Tamhid li Syarhi Kitabit Tauhid, Sholeh bin ‘Abdul Aziz Alu Syaikh, Daar At Tauhid.
4. Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir Al Qurosyi Ad Dimasyqi, Tahqiq: Saami bin Muhammad Salamah, Dar Thobi’ah Lin Nasyr wat Tauzi’.

5. Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jaami’it Tirmidzi, Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdirrahim Al Mubarakfuriy Abul ‘Alaa, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut.

Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal (http://rumaysho.wordpress.com/)
Judul Asli: Banyak Shalat, Puasa dan Sedekah Hanya Untuk Memperlancar Rizki


2.Ikhlash Dalam Beramal.

Hakikat Ikhlash

Ikhlash adalah sesuatu yang begitu mudah diucapkan akan tetapi betapa sulitnya direalisasikan. Sampai-sampai sebagian ulama salaf menyatakan: “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersaksikan bahwasanya dirinya telah ikhlash maka sungguh dia butuh untuk ikhlash lagi”, sebagaimana diucapkan oleh As-Susiy.

Hal ini dikarenakan apabila seseorang merasa telah ikhlash dalam ucapan dan perbuatannya berarti dia telah berbuat ‘ujub (kagum dan bangga dengan amalnya) yang akan menghapuskan amalannya tersebut. Sedangkan orang yang ikhlash adalah orang yang amalnya bersih dari seluruh hal yang akan menghapuskannya seperti riya`, sum’ah, ’ujub dan yang lainnya.

Berkata Ya’qub: “Orang yang ikhlash adalah orang yang menyembunyikan kebaikan-kebaikannya sebagaimana dia menyembunyikan kejelekan-kejelekannya.”

Kecuali kalau dalam rangka agar orang lain mengikuti perbuatan baiknya maka boleh menampakkan perbuatannya tersebut karena ada maslahat bagi orang lain.

Berkata Ayyub: “Memurnikan niat bagi orang-orang yang beramal itu lebih berat atas mereka daripada (mengerjakan) seluruh amalan-amalan.”

Berkata sebagian ulama salaf: “Ikhlash sesaat adalah keselamatan selama-lamanya, akan tetapi ikhlash itu adalah sesuatu yang sangat sulit.”

Ketika Suhail ditanya: “Apakah yang paling berat bagi jiwa?” Maka beliau menjawab: “Ikhlash, karena padanya tidak ada bagian yang lainnya.”

[Lihat: Tazkiyyatun Nufuus, karya Ibnu Rajab, Ibnul Qayyim dan Abu Hamid, hal.17, dengan beberapa perubahan.]

Hakikat riya’

Rasulullah shalallahu ’alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالَ الرِّيَاءُ

“Sesungguhnya yang paling ditakutkan dari apa yang saya takutkan menimpa kalian adalah asy syirkul ashghar (syirik kecil), maka para shahabat bertanya, apa yang dimaksud dengan asy syirkul ashghar? Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ar Riya’.” (HR. Ahmad dari shahabat Mahmud bin Labid no. 27742)

Arriya’ (الرياء) berasal dari kata kerja raâ ( راءى) yang bermakna memperlihatkan. Sedangkan yang dimaksud dengan riya’ adalah memperlihatkan (memperbagus) suatu amalan ibadah tertentu seperti shalat, shaum (puasa), atau lainnya dengan tujuan agar mendapat perhatian dan pujian manusia. Semakna dengan riya’ adalah Sum’ah yaitu memperdengarkan suatu amalan ibadah tertentu yang sama tujuannya dengan riya’ yaitu supaya mendapat perhatian dan pujian manusia.

Para pembaca yang mulia, perlu diketahui bahwa segala amalan itu tergantung pada niatnya. Bila suatu amalan itu diniatkan lkhlas karena Allah subhanahu wata’ala maka amalan itu akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala. Begitu juga sebaliknya, bila amalan itu diniatkan agar mendapat perhatian, pujian, atau ingin meraih sesuatu dari urusan duniawi, maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala.

Rasulullah shalallahu ’alaihi wasallam bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya amalan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya amalan seseorang itu akan dibalas sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (Muttafaqun ’alaihi)

Ibadah merupakan hak Allah subhanahu wata’ala yang bersifat mutlak. Bahwa ibadah itu murni untuk Allah subhanahu wata’ala, tidak boleh dicampuri dengan niatan lain selain untuk-Nya. Sebagaimana peringatan Allah subhanahu wata’ala dalam firman-Nya (artinya):

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan (ikhlas) ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (Al Bayyinah: 5)

Alangkah indahnya perkataan imam al-fudhail bin iyadh dalam menjelaskan riya’ :

“Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya` sedangkan beramal karena manusia adalah kesyirikan, adapun yang namanya ikhlash adalah ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya.”

Maksud beliau adalah apabila ada seseorang meninggalkan amal kebaikan karena takut riya` seperti dia tidak mau shalat sunnah karena takut riya’, berarti dia sudah terjatuh pada riya` itu sendiri. Yang seharusnya dia lakukan adalah tetap melaksanakan shalat sunnah walaupun di sekitarnya ada orang dengan tetap berusaha untuk ikhlash dalam amalnya tersebut.

[Lihat: Tazkiyyatun Nufuus, karya Ibnu Rajab, Ibnul Qayyim dan Abu Hamid, hal.17, dengan beberapa perubahan.]

Hukum Riya’

Riya’ merupakan dosa besar. Karena riya’ termasuk perbuatan syirik kecil.

Sebagaimana hadits di atas dari shahabat Mahmud bin Labid, Rasulullah shalallahu ’alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya yang paling ditakutkan dari apa yang saya takutkan menimpa kalian adalah asy syirkul ashghar (syirik kecil), maka para shahabat bertanya, apa yang dimaksud dengan asy syirkul ashghar? Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ar Riya’.” Selain riya’ merupakan syirik kecil, ia pun mendatangkan berbagai macam mara bahaya.

Perlu diketahui, meskipun riya’ “hanya” syirik asghar, kita tidak boleh meremehkannya karena syirik asghar termasuk dosa besar yang dosanya lebih besar dari zina, merampok atau yang semisal.

Bahaya Riya’

Penyakit riya’ merupakan penyakit yang sangat berbahaya, karena memilki dampak negatif yang luar biasa.

Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian menghilangkan pahala sedekahmu dengan selalu menyebut-nyebut dan dengan menyakiti perasaan si penerima, seperti orang-orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari akhir”. (Al Baqarah: 264)

Dalam konteks ayat di atas, Allah subhanahu wata’ala memberitakan akibat amalan sedekah yang selalu disebut-sebut atau menyakiti perasaan si penerima maka akan berakibat sebagaimana akibat dari perbuatan riya’ yaitu amalan itu tiada berarti karena tertolak di sisi Allah subhanahu wata’ala.

Ayat di atas tidak hanya mencela perbuatanya saja (riya’), tentu celaan ini pun tertuju kepada pelakunya. Bahkan dalam ayat yang lain, Allah subhanahu wata’ala mengancam bahwa kesudahan yang akan dialami orang-orang yang berbuat riya’ adalah kecelakaan (kebinasaan) di akhirat kelak. Sebagaimana firman-Nya:

“Wail (Kecelakaanlah) bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, dan orang-orang yang berbuat riya’, … ” (Al Maa’uun: 4-7)

Diperkuat lagi, adanya penafsiran dari Ibnu Abbas radhiallahu ’anhuma, makna Al Wail adalah ungkapan dari dasyatnya adzab di akhirat kelak. (Tafsir Ibnu Katsir 1/118)

Sedangkan dalam hadits yang shahih, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa ancaman bagi orang yang berbuat riya’ yaitu Allah subhanahu wata’ala akan meninggalkannya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shalallahu ’alaihi wasallam bersabda: “Allah subhanahu wata’ala berfirman:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan dengan mencampurkan kesyirikan bersama-Ku, niscaya Aku tinggalkan dia dan amal kesyirikannya itu”.

Bila Allah subhanahu wata’ala meninggalkannya siapa lagi yang dapat menyelamatkan dia baik di dunia dan di akhirat kelak? Dalam hadits lain, Allah subhanahu wata’ala benar-benar akan mencampakkan pelaku perbuatan riya’ ke dalam An Naar.

Sebagaimana hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Al Imam Muslim, bahwa yang pertama kali dihisab di hari kiamat tiga golongan manusia: pertama; seseorang yang mati di medan jihad, kedua; pembaca Al Qur’an, dan yang ketiga; seseorang yang suka berinfaq. Jenis golongan manusia ini Allah subhanahu wata’ala campakkan dalam An Naar karena mereka beramal bukan karena Allah subhanahu wata’ala namun sekedar mencari popularitas. (Lihat HR. Muslim no. 1678)

Perlu diketahui, bahwa riya’ yang dapat membatalkan sebuah amalan adalah bila riya’ itu menjadi asal (dasar) suatu niatan. Bila riya’ itu muncul secara tiba-tiba tanpa disangka dan tidak terus menerus, maka hal ini tidak membatalkan sebuah amalan.

Pengobatan Riya’

Di antara cara untuk mencegah dan mengobati perbuatan riya’ adalah:

1. Mengetahui dan memahami keagungan Allah subhanahu wata’ala, yang memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang tinggi dan sempurna.

Ketahuilah, Allah subhanahu wata’ala adalah Maha Mendengar dan Maha Melihat serta Maha Mengetahui apa-apa yang nampak ataupun yang tersembunyi. Maka akankah kita merasa diperhatikan dan diawasi oleh manusia sementara kita tidak merasa diawasi oleh Allah subhanahu wata’ala?

Bukankah Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):“Katakanlah: “Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu menampakkannya, pasti Allah mengetahuinya”, …” (Ali Imran: 29)

2. Selalu mengingat akan kematian.

Ketahuilah, bahwa setiap jiwa akan merasakan kematian. Ketika seseorang selalu mengingat kematian maka ia akan berusaha mengikhlaskan setiap ibadah yang ia kerjakan. Ia merasa khawatir ketika ia berbuat riya’ sementara ajal siap menjemputnya tanpa minta izin /permisi terlebih dahulu. Sehingga ia khawatir meninggalkan dunia bukan dalam keadaan husnul khatimah (baik akhirnya) tapi su’ul khatimah (jelek akhirnya).

3. Banyak berdo’a dan merasa takut dari perbuatan riya’.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan kepada kita do’a yang dapat menjauhkan kita dari perbuatan syirik besar dan syirik kecil. Diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad dan At Thabrani dari shahabat Abu Musa Al Asy’ari bahwa Rasulullah shalallahu ’alaihi wasallam bersabda: “Wahai manusia takutlah akan As Syirik ini, sesungguhnya ia lebih tersamar dari pada semut. Maka berkata padanya: “Bagaimana kami merasa takut dengannya sementara ia lebih tersamar daripada semut? Maka berkata Rasulullah shalallahu ’alaihi wasallam :” Ucapkanlah:

اللَّهُمَّ إناَّ نَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا نَعْلَمُهُ, وَ نَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ نَعْلَمُه

“Ya, Allah! Sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang kami ketahui. Dan kami memohon ampunan kepada-Mu dari dosa (syirik) yang kami tidak mengetahuinya.”

4. Terus memperbanyak mengerjakan amalan shalih.

Berusahalah terus memperbanyak amalan shalih, baik dalam keadaan sendirian atau pun dihadapan orang lain. Karena tidaklah dibenarkan seseorang meninggalkan suatu amalan yang mulia karena takut riya’. Dan Islam menganjurkan umat untuk berlomba-lomba memperbanyak amalan shalih. Bila riya’ itu muncul maka segeralah ditepis dan jangan dibiarkan terus menerus karena itu adalah bisikan setan.

Apa yang kita amalkan ini belum seberapa dibandingkan amalan, ibadah, ilmu dan perjuangan para shahabat dan para ulama’. Lalu apa yang akan kita banggakan? Ibadah dan ilmu kita amatlah jauh dan jauh sekali bila dibandingkan dengan ilmu dan ibadah mereka.
Berusaha untuk tidak menceritakan kebaikan yang kita amalkan kepada orang lain, kecuali dalam keadaan darurat. Seperti, bila orang berpuasa yang bertamu, kemudian dijamu. Boleh baginya mengatakan bahwa ia dalam keadaan berpuasa. (Lihat HR. Al Imam Muslim dari sahabat Zuhair bin Harb no. 1150)

Namun boleh pula baginya berbuka (membatalkan puasa selama bukan puasa yang wajib) untuk menghormati jamuan tuan rumah.

Beberapa perkara yang bukan termasuk riya’

1. Seseorang yang beramal dengan ikhlas, namun mendapatkan pujian dari manusia tanpa ia kehendaki.

Diriwayatkan oleh Al Imam Muslim dari shahabat Abu Dzar, bahwa ada seorang shahabat bertanya kepada Rasulullah shalallahu ’alaihi wasallam : “Apa pendapatmu tentang seseorang yang beramal (secara ikhlas) dengan amal kebaikan yang kemudian manusia memujinya?” Maka Rasulullah shalallahu ’alaihi wasallam menjawab: “Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin”.

2. Seseorang yang memperindah penampilan karena keindahan Islam.

Diriwayatkan oleh Al Imam Muslim dari shahabat Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Tidaklah masuk Al Jannah seseorang yang di dalam hatinya ada seberat dzarrah (setitik) dari kesombongan.” Berkata seseorang: “(Bagaimana jika) seseorang menyukai untuk memperindah pakaian dan sandal yang ia kenakan? Seraya Rasulullah shalallahu ’alaihi wasallam menjawab: “Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala itu indah dan menyukai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain”.

3. Beramal karena memberikan teladan bagi orang lain.

Hal ini sering dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Seperti Rasulullah shalallahu ’alaihi wasallam shalat diatas mimbar bertujuan supaya para shahabat bisa mencontohnya. Demikian pula seorang pendidik, hendaknya dia memberikan dan menampakkan suri tauladan atau figur yang baik agar dapat diteladani oleh anak didiknya. Ini bukanlah bagian dari riya’, bahkan Rasulullah shalallahu ’alaihi wasallam bersabda:

مَنْ سَنَّ فِي الإِْسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ

“Barangsiapa yang memberikan teladan yang baik dalam Islam, kemudian ada yang mengamalkannya, maka dicatat baginya kebaikan seperti orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi sedikitpun dari kebaikannya.” (HR. Muslim no. 1017)

4. Bukan termasuk riya’ pula bila ia semangat beramal ketika berada ditengah orang-orang yang lagi semangat beramal.

Karena ia merasa terpacu dan terdorong untuk beramal shalih. Namun hendaknya orang ini selalu mewaspadai niat dalam hatinya dan berusaha untuk selalu semangat beramal meskipun tidak ada orang yang mendorongnya.

Pentingnya Ikhlash bagi Penuntut Ilmu

Berkata Al-Imam An-Nawawiy setelah membicarakan tentang keutamaan ilmu dan kedudukan ulama: “Ketahuilah bahwasanya apa-apa yang telah kami sebutkan dari keutamaan menuntut ilmu, hanyalah akan diperoleh bagi orang yang mencarinya dalam rangka mengharapkan Wajah Allah Ta’ala, bukan dalam rangka mencari dunia. Dan barangsiapa dalam menuntut ilmu dia mencari tujuan duniawi seperti harta, kepemimpinan, kedudukan, kemegahan, ketenaran, menarik perhatian manusia kepadanya atau ingin mendebat orang lain, atau yang sejenisnya maka ini semuanya tercela.” (Al-Majmuu’ 1/23)

Apabila seorang penuntut ilmu mendapatkan dalam dirinya kecenderungan kepada riya` dan senang untuk berbangga-bangga dengan ilmunya, maka wajib baginya untuk menyibukkan diri dengan memperbaiki niat, bersungguh-sungguh melatih jiwanya agar tetap di atas keikhlashan, menghilangkan was-was syaithan, berlindung diri dari kejahatan dan kejelekannya sampai niatnya kembali menjadi bersih dari berbagai kotoran riya dan yang lainnya, dan tertutuplah pintu-pintu masuk syaithan yang biasa menyusup dari sela-sela jiwa manusia.

Al-Khathib Al-Baghdadiy meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnus Simak bahwasanya dia berkata: Aku mendengar Sufyan Ats-Tsauriy berkata:

“Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih berat atas diriku daripada (memperbaiki) niatku, karena niat itu senantiasa berubah-ubah pada diriku.” (Al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawiy wa Aadaabis Saami’ 1/317)

Al-Khathib juga meriwayatkan dari Bisyr Ibnul Harits bahwasanya beliau ketika berbicara lalu menyebutkan sanad hadits, maka beliau berkata:

“Astaghfirullaah, sesungguhnya ketika menyebutkan sanad muncul perasaan bangga dan sombong dalam hatiku.” (Ibid. 1/338)

Dia takut masuknya perasaan sombong dan bangga ke dalam hatinya, ketika dia menyebutkan sanad dari para perawi dan guru-gurunya yang meriwayatkan dari mereka, lalu hal ini menjadi sebab munculnya riya`, maka diapun mengawasi bisikan-bisikan jiwanya lalu meminta ampun kepada Rabbnya.

Al-Khathib Al-Baghdadiy meriwayatkan juga dari ‘Ubaidullah bin Abi Ja’far bahwasanya beliau berkata:

“Apabila seseorang ketika sedang berbicara di suatu majelis lalu pembicaraannya tersebut menjadikan dia ta’ajjub (kagum) maka hendaklah dia diam, dan sebaliknya apabila dia diam lalu diamnya tersebut menjadikan dia ta’ajjub maka hendaklah berbicara.” (Ibid. 1/338)



3.Syarat Diterimanya Amal.


MUQODDIMAH

Setelah merangkumkan bab ilmu, maka yang kita pelajari sekarang adalah mengamalkan ilmu yang telah kita miliki. Amal merupakan konsekuensi iman dan memiliki nilai yang sangat positif dalam menghadapi tantangan hidup dan segala fitnah yang ada di dalamnya. Terlebih jika seseorang menginginkan kebahagiaan hidup yang hakiki.

Allah Subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan hal yang demikian itu di dalam Al Qur’an, yang artinya: “Bersegeralah kalian menuju pengampunan Rabb kalian dan kepada surga yang seluas langit dan bumi yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah.” (Ali Imran:133)

Imam As Sa’dy mengatakan dalam tafsirnya halaman 115: “Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk bersegera menuju ampunan-Nya dan menuju surga seluas langit dan bumi. Lalu bagaimana dengan panjangnya yang telah dijanjikan oleh Allah Subhanahuwata’ala kepada orang-orang yang bertakwa, merekalah yang pantas menjadi penduduknya dan amalan ketakwaan itu akan menyampaikan kepada surga.”

Jelas melalui ayat ini, Allah Subhanahu wa ta’ala menyeru hamba-hamba-Nya untuk bersegera menuju amal kebajikan dan mendapatkan kedekatan di sisi Allah, serta bersegera pula berusaha untuk mendapatkan surga-Nya. (Lihat Bahjatun Nadzirin 1/169)

Allah berfirman, yang artinya: “Berlomba-lombalah kalian dalam kebajikan” (Al Baqarah: 148)

Dalam tafsirnya halaman 55, Imam As Sa’dy mengatakan: “Perintah berlomba-lomba dalam kebajikan merupakan perintah tambahan dalam melaksanakan kebajikan, karena berlomba-lomba mencakup mengerjakan perintah tersebut dengan sesempurna mungkin dan melaksanakannya dalam segala keadaan dan bersegera kepadanya. Barang siapa yang berlomba-lomba dalam kebaikan di dunia, maka dia akan menjadi orang pertama yang masuk ke dalam surga kelak pada hari kiamat dan merekalah orang yang paling tinggi kedudukannya.”

Dalam ayat ini, Allah dengan jelas memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk segera dan berlomba-lomba dalam amal shalih. Rasulullah Sholallohu ’alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Bersegeralah kalian menuju amal shaleh karena akan terjadi fitnah-fitnah seperti potongan gelapnya malam, di mana seorang mukmin bila berada di waktu pagi dalam keadaan beriman maka di sore harinya menjadi kafir dan jika di sore hari dia beriman maka di pagi harinya dia menjadi kafir dan dia melelang agamanya dengan harta benda dunia.” (Shahih, HR Muslim no.117 dan Tirmidzi)

Dalam hadits ini terdapat banyak pelajaran, di antaranya kewajiban berpegang dengan agama Allah dan bersegera untuk beramal shaleh sebelum datang hal-hal yang akan menghalangi darinya. Fitnah di akhir jaman akan datang silih berganti dan ketika berakhir dari satu fitnah muncul lagi fitnah yang lain. (Lihat Bahjatun Nadzirin 1/170)

Karena kedudukan amal dalam kehidupan begitu besar dan mulia, maka Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita untuk meminta segala apa yang kita butuhkan dengan amal shaleh. Allah berfirman di dalam Al Quran, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, mintalah tolong (kepada Allah) dengan penuh kesabaran dan shalat. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar.” (Al Baqarah:153)

Lalu, kalau kita telah beramal dengan penuh keuletan dan kesabaran apakah amal kita pasti diterima?

SYARAT DITERIMANYA AMAL

Alloh subahanahu wa ta’ala memuji orang-orang yang melakukan ketaatan kepadaNya dalam firmanNya, yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka, Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka, Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun), Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al-Mukminuun: 57-61).

Ibunda ’Aisyah rodhiAllohu ’anha berkata, yang artinya: “Aku bertanya kepada Rosululloh shollallohu ’alaihi wa ’ala alihi wasallam tentang ayat ini, aku berkata: Apakah mereka adalah orang-orang yang meminum khamr, berzina dan mencuri? Beliau shollallohu ’alaihi wa ’ala alihi wasallam menjawab: “Bukan wahai putri ash-Shiddiq, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang berpuasa, melakukan shalat, dan bersedekah, namun mereka juga merasa takut kalau-kalau amal mereka tidak diterima. Mereka itulah orang-orang yang bersegera dalam kebaikan-kebaikan.” (HR. Tirmidzi no. 3099 disahihkan oleh al-Albani dalam Sahih wa Dha’if Sunan at-Tirmidzi 3175. as-Syamilah)

Para salafush shaleh bersungguh-sungguh dalam memperbaiki dan menyempurnakan amal mereka kemudian setelah itu mereka memperhatikan dikabulkannya amal tersebut oleh Alloh subhanahu wa ta’ala dan takut daripada ditolaknya.

Shohabat Ali rodhiAllohu ‘anhu berkata, yang artinya: “Mereka lebih memperhatikan dikabulkannya amal daripada amal itu sendiri. Tidakkah kamu mendengar Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman, (yang artinya): “Sesungguhnya Alloh hanya menerima (mengabulkan) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Maa’idah: 27).

Dari Fadhalah bin ‘Ubaid rohimahulloh berkata, yang artinya: “Sekiranya aku mengetahui bahwa amalku ada yang dikabulkan sekecil biji sawi, hal itu lebih aku sukai daripada dunia seisinya, karena Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman, yang artinya: (yang artinya): “Sesungguhnya Alloh hanya menerima (mengabulkan) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Maa’idah: 27).

Berkata Malik bin Dinar rohimahulloh: “Takut akan tidak dikabulkannya amal adalah lebih berat dari amal itu sendiri”.

Berkata Abdul Aziz bin Abi Rawwaad rohimahulloh: “Aku menjumpai mereka (salafush shaleh) bersungguh-sungguh dalam beramal, apabila telah mengerjakannya mereka ditimpa kegelisahan apakah amal mereka dikabulkan ataukah tidak?”

Berkata sebagian salaf rohimahumulloh, yang artinya: “Mereka (para salafush shaleh) berdoa kepada Alloh subhanahu wa ta’ala selama enam bulan agar dipertemukan bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa kepada Alloh subhanahu wa ta’ala selama enam bulan agar amal mereka dikabulkan.”

Umar bin Abdul Aziz rohimahulloh keluar pada hari raya Iedul Fitri dan berkata dalam khutbahnya: Wahai manusia! Sesungguhnya kamu telah berpuasa karena Alloh subhanahu wa ta’ala selama tiga puluh hari, dan kamu shalat (tarawih) selama tiga puluh hari pula, dan hari ini kamu keluar untuk meminta kepada Alloh subhanahu wa ta’ala agar dikabulkan amalmu.

Sebagian salaf tampak bersedih ketika hari raya Iedul Fitri, lalu dikatakan kepadanya: “Ini adalah hari kesenangan dan kegembiraan”. Dia menjawab: “Kamu benar, akan tetapi aku adalah seorang hamba yang diperintah oleh Tuhanku untuk beramal karenaNya, dan aku tidak tahu apakah Dia mengabulkan amalku atau tidak?”

DUA SYARAT DITERIMANYA AMAL, AL-IKHLASH DAN AL-MUTABA’AH

Sebelum melangkah untuk beramal hendaklah bertanya pada diri kita: Untuk siapa saya beramal? Dan bagaimana caranya? Maka jawabannya adalah dengan kedua syarat di atas.

Alloh subhanahu wa ta’ala tidak akan menerima suatu amalan kecuali ada padanya dua syarat, yaitu: Ikhlash karena Alloh subhanahu wa ta’ala semata dan mutaba’ atus sunnah atau mengikuti sunnah Rosululloh shollallohu ’alaihi wa ’ala alihi wasallam.


Semoga bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar